BERSAMAMU
Malam ini adalah malam indah yang seharusnya dinikmatinya.
Malam tahun baru yang penuh dengan sukacita warna warni bunga api yang
bercampur kilap bintang di hamparan langit luas. Tetapi kenyataannya kegelapan,
kesunyian, dan kedinginan di tepi jalan menusuk-nusuk tulangnya yang rapuh,
terus mengalir ke setiap sudut tubuhnya, perihnya sesak nafas di dalam dada,
semakin terasa menjulur ke jantung hati. Lalu…
Saat
itu tepat pukul 5 sore…
Dengan
penuh semangat aku bergegas mempercantik diri dari ujung rambut sampai ujung
kuku kaki. Bagaimana tidak? Lelaki itu, Farid Fakhreza Effendy, teman yang
selalu membuatku nyaman menjalani kehidupan ini, mengajakku untuk menghabiskan
malam tahun baru bersamanya. Berharap dia melakukan sesuatu yang spesial
untukku.
Ketika
aku sudah memegang gagang pintu apartemenku, beranjak keluar untuk menunggu
jemputan Farid, hatiku bergetar. Sungguh aku ingin terlihat sangat cantik malam
ini di depannya. Maka aku memastikan untuk bercermin sekali lagi. Bismillah,
fighting de! Semangat! Aku siap!
Tintin…
Terdengar bunyi klakson
2 kali dari luar. Ketika kulihat dari jendela. Benar saja Farid sudah datang.
Aku melihatnya. Aku melihat senyumnya yang menawan dan kedua tangannya yang
melambai ke arahku. Aku tak tahu harus berkata apa, harus melakukan apa.
Sungguh saat itu seluruh jiwa raga ini tak terkontrol. Aku hanya berlari
menuruni anak tangga, menyapa para tetangga dan berpamitan dengan kakek dan
nenek pemilik apartemen. Aku tak sabar ingin segera menghampirinya. Jika aku
punya kekuatan magis, yang bisa membawaku kemana saja dengan sekali kedip, aku
akan melakukannya sedari tadi.
“Fariiiiid!”
“Sudah kuduga!”
“Apa?”
“Kau sudah sangat
merindukanku. Hah?”
Katanya dengan nada
gurau dan ketawa cirri khasnya disertai cubitan di pipiku. Aku hanya balas
tertawa dan langsung menetap di kursi depan mobilnya. Kita memang teman dari
SMP jadi sudah ga kagok. Keluarga kita sudah saling mengenal, akrab satu sama
lain. Cinta datang tiba-tiba, cinta datang karena kedekatan. Tepat sekali!
“Eh kamu bisa dandan juga?
Tumben kamu cantik, biasanya amburadul.”
“Ih rese banget! Kalo
bilang cantik, cantik aja. Ga usah sambil ngehina gitu. Romantis dikit bisa
kali.”
Semua pembicaraan kita
selalu dianggap bercanda. Tidak ada keseriusan. Tidak ada jarak diantara kita. Tidak
ada yang ditutup-tutupi. Semuanya saling terbuka. Aku senang mendengarnya
bercerita, tentang apapun itu. Begitupun sebaliknya. Walaupun ada sedikit rasa
nyeri bila ada nama perempuan yang dia sebut. Tapi itu yang membuatku nyaman. Ingin sekali
setiap hariku dipenuhi oleh kebersamaan dengannya. Inilah harapanku di tahun
baru ini.
Butiran-butiran aspal
kita lewati penuh dengan suka cita. Topik yang kita bahas tidak ada habisnya.
Padahal kita kuliah di jurusan yang berbeda, kampus sangat jauh berbeda. Dia di
universitas negeri, sedangkan aku di universitas Negara. Mengasyikkan! Tak
terasa kita sudah sampai di kedai, jika ini sebuah syuting film, aku ingin
melakukan adegan tadi berkali-kali, tak akan bosan, capek tak akan terasa,
karena aku di sampingmu… berdua… bersamamu…
Aku melihat sekeliling
kedai, halaman yang sangat luas dengan kelap kelip lampu warna-warni di
sekelilingnya yang seakan-akan tersenyum itu, sangat indah. Mungkin aku akan
mengenang hari ini di seumur hidupku, mungkin dengan kesan yang sangat baik.
Atau bisa juga dengan kesan yang sangat buruk. Oh tidak! Kenapa tiba-tiba aku
berfikir seperti itu? Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak tenang? Kenapa
tiba-tiba aku ingin pindah tempat? Kenapa tiba-tiba aku ingin pulang? Pokoknya
aku merasa tiba-tiba aku tidak ingin berada disini.
Suara perkusi dan
musik-musik lainnya, serta tepukan tangan Farid yang mengagetkanku seketika
membuyarkan lamunanku.
“Jangan terpesona gitu
deh, aku tau kamu pasti suka lampu love nya kan? Aku tau kau sebentar lagi
memintaku untuk lihat ke sana kan? Ayooo. Apa sih yang ngga! Makanya aku bawa
kamu ke sini. Nih”
Teriaknya berlomba
dengan gemuruh suara hiruk pikuknya pengunjung, aku tahu dia tidak suka jika aku
memintanya untuk mengulangi kata-katanya. Dia memberiku secangkir hot
chocolate.
“Aaah kamu paling
ngerti” jawabku sambil menyesap secangkir hot chocolate itu sebari mencolek
dagunya.
“Oh jelas!”
Kita hanya tertawa dan
aku sibuk menggosok-gosokkan telapak tanganku ke pundak sampai sikutku
berulang-ulang.
“Tuhkan! Kedinginan!”
“Sotoy! Huuu”
“Jadi yakin ga butuh
jaket?”
“Hmm gimana ya? Butuh
ga yaaa?”
“Masih gengsi?”
tawarnya sambil membuka jaketnya.
“Terus? Kamu?”
“Sudah persiapan.”
Aku melihatnya memakai
sweater. Ternyata dia memakai double jaket dari tadi. Jangan-jangan sekarang
dia sedang memakai 5 jaket sekaligus. Aku memang lupa pakai jaket tadi.
Habisnya buru-buru, pengen cepet-cepet ketemu Farid sih…
“Aku tahu kau pasti
lupa memakai jaket, soalnya buru-buru pengen cepet-cepet ketemu aku. Iya
kaaan?”
Katanya. Seakan-akan
membaca pikiranku. Atau apa aku memang tidak sengaja menyebutkannya tadi?
“Hah?”
Jawabku sembari
menyennggolnya dan memakai jaketnya.
“Ih lucu banget ya
ampun! Ini berapa lampu love? Emang aku ulang tahun ya sekarang? Sumpah! Keren!
Pengen dong dibawa ke apartemen. Di simpen di kamar. Pengen ada dong tiap
penjuru rumah. Ga akan takut deh tidur dengan kegelapan. Ga akan takut tidur di
matiin lampu.”
Eh! Ternyata saking
terpesonanya aku sama lampu love yang super besar itu. Yang tingginya melebihi
tinggiku itu. Aku baru menyadari kalau dari tadi aku ngomong sendiri.
Mengelilingi lampu itu sendiri. Tak ada yang menemani. Dan untunglah aku tidak
merasa malu karena orang-orang asyik dengan kesibukannya masing-masing.
Sebel! Kesel! Kemana
cowok kece itu? Gak bilang-bilang. Jika aku mempunyai seribu satu jurus pencak
silat khas Indonesia dengan campuran dari seluruh Negara di dunia ini. Aku akan
mempraktekannya sekaligus saat Farid datang.
Oke. 10 menit berlalu
aku menunggu Farid di sebuah bangku taman tepat di depan lampu love. Sendiri!
Di tengah keramaian. Tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan gayanya yang
mengiblat ke K-Pop style yang lagi ngetrend menghampiriku.
“Teteh? Sendirian?
Kasian deh lo! Nih aku kasih permen”
Ejeknya. Lalu pergi
begitu saja tanpa menunggu kemarahanku terlaksanakan. Tapi yasudahlah, toh aku
menikmati lollipop berbentuk love itu. Ketika asyik mengemut lollipop. 5 menit
kemudian. Seorang anak perempuan yang lucu dengan dua ikatan di rambutnya
menghampiriku.
“Teteh? Aku mah pasti
sedih da kalau kaya teteh. Sendirian coba. Nih aku kasih permen”
Sial! Bisikku dalam hati.
Diejek anak kecil lagi? Aku maklumi, aku membalasnya dengan tersenyum. Berharap
memang terlihat senyuman yang tulus. Benar kan? Aku tidak suka anak kecil.
Karena menjengkelkan. Terbukti! 5 menit kemudian. Tiba-tiba seorang anak
perempuan yang terlihat centil dengan pakaiannya yang modis dan tampang yang so
cantik menghampiriku.
“Teteh? Iwh sendirian.
Tau ga? Kaya rakyat jelata. Nih aku kasih permen”
What? Aku menyabarkan
diri sendiri. 3 orang anak-anak. Ya, aku menghitungnya! 3 orang anak-anak satu
per satu menghampiriku hanya untuk mengejekku dan memberiku sebuah permen.
Dunia sudah terbalik. Memang aku seperti anak kecil. Tapi tidak semestinya juga
aku dianggap anak yang terlantar ditinggalkan orang tua oleh anak kecil. Dan
aku menganggap diriku yang sedang menangis ketakutan karena diterlantarkan oleh
orang tua dan menganggap mereka sebagai tante-tante dan om-om yang baik hati. Mungkin ini yang membuat perasaanku tidak enak
di awal.
Aku berniat pulang
sendiri, nekad, tak peduli apapun, mau bagaimana pun terhadap Farid. Jika 5
menit lagi dia tak kunjung datang. Lihat pembalasanku! Lalu terbesit di
fikiranku, apa dia meninggalkanku karena dia keasikan mengobrol dengan teman
perempuan yang baru dia kenali barusan? Ketika aku berdiri, beranjak pergi untuk
mencarinya. Tiba-tiba tangan dingin seketika menutup mataku.
“Sial! Siapa itu?
Lepaskan!”
Dia terdiam tidak
bereaksi.
“Hey! Aku bilang
lepaskan! Gelap tau! Ga lucu ya! Ga suka! Aku teriak nih”
Ancamku sambil
memukulkan 3 lollipop tadi ke jari-jari yang menutupi mataku.
“Aw!” teriaknya.
Ketika aku berbalik,
ternyata Farid! Sudah kuduga! Aku tak berekspresi senang atau bahagia. Aku
hanya memperlihatkan wajahku yang kusut karena faktor kekesalan yang terpendam.
Lalu duduk dengan kedua tangan bersilang di dada. Sedangkan dia sibuk
mengelus-elus jarinya.
“Geuleuh hey!
Lollipopnya ada yang udah diemut ya?”
“Bodo!”
Bisikku. Tak peduli dia
mendengar atau tidak.
Dia malah tertawa
terbahak-bahak. Lalu berlutut di hadapanku, menggenggam tanganku dan berkata…
“Maaf maaf, menurutmu
ini romantis tidak?”
“Tidak”
“Yaaah belik, badmood”
Aku hanya terdiam. Dia
kembali tertawa.
“Gimana anak-anak kecil
tadi? Lucu-lucu kaaan?”
Aku hanya mengerutkan
keningku. Lalu aku menyelanya ketika ia hendak berbicara.
“Kau tahu? Aku yakin
kau sudah tahu! Iya aku memang suka love, tidak dengan anak kecil yang rese
walaupun lucu, iya dengan lollipop, tidak dengan sendirian di tengah
keramaian!”
Wajahnya saat itu
sungguh menggelikan. Mata terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar karena
disela ketika hendak berbicara. Jika mood ku sedang baik mungkin aku tidak akan
berhenti tertawa sampai pulang. Tapi
saat itu, tidak tahu kenapa, aku meneteskan air mata. Dia menghapus air mataku
dengan ibu jarinya yang halus. Sembari tertawa.
“Iya iya iya, sangat
sangat sangat tahu nona cantik. Aku pikir dengan ini kau akan bilang kalau aku
romantis dan kau sangat terkesan sehingga kau tak akan melupakan hari ini.”
“Tapi memang iya sih,
ini romantis dan aku terkesan”
Jujurku. Walau aku
yakin aku masih terlihat murung.
“Eh iya juga kalau kau
memang menyukaiku?”
Aku hanya menjulurkan
lidahku.
“Bersihin muka gih!
Make upnya luntur tuh. Cengeng dasar!”
Aku bergegas ke toilet
dan menitipkan barang-barangku kepadanya. Sambil berkata…
“Awas kalau ngilang lagi!
Tak ada ampun!”
“Siap!”
Jawabnya tegas dengan
mengangkat tangannya ke atas dahinya. Seakan-akan sedang hormat.
Aku merapihkan
rambutku, mengoles wajahku, membenarkan pakaianku. Dan aku tertawa kecil ketika
melihat diriku sendiri yang tenggelam menggunakan dress dan memakai jaket Farid yang besar.
Kurasa bersiap-siapnya
sudah cukup. Aku pergi meninggalkan toilet dan ketika keluar gedung sudah
terlihat Farid sedang melihat orang-orang yang berlalu lalang. Aku berjalan
perlahan dan tertahan begitupun pandanganku terhadap Farid tertahan oleh Barong
Shai yang sedang memulai pentasnya. Terpaksa aku harus berkeliling dan bersusah
payah melewati segitu banyak pengunjung untuk sampai ke tempat Farid berada.
15 langkah menuju
Farid. Farid terlihat berdiri, melambaikan tangan, menghempaskan tas tanganku
di bangku taman. Mungkin ada keluarganya atau temannya.
7 langkah menuju Farid.
Seorang perempuan menghampirinya. Bersalaman dengannya, mencium pipi kanan dan
kirinya. Mungkin teman seperguruannya atau sepupunya.
Aku memperlambat
langkahku. 5 langkah menuju Farid.
Tiba-tiba saja hatiku terasa remuk. Seperti gelas yang kujatuhkan dari
ketinggian setinggi-tingginya. Tidak tahu menjadi berapa pecahan. Yang pasti
sangat sakit sesakit-sakitnya orang yang sangat sakit. Perempuan itu memeluk Farid. Aku menahan langkahku.
Waktu berjalan sangat lambat. Sehingga pelukan itu terasa lama. Keduanya
seperti merindukan satu sama lain. Ya aku merasakannya. Dan aku langsung
teringat. Perempuan itu adalah Aurelisyam Sekaria. Ketika kami masih di bangku
SMA keduanya saling mencintai, aku sangat tahu itu, gerak gerik mereka yang
menceritakan semuanya kepadaku. Mereka terpisah sampai sekarang dari semester 3
waktu itu, karena Aurelia harus ikut pindah dengan orangtuanya ke luar kota. Dan
aku ingat sangat ingat, mereka pernah bilang mereka akan setia sampai mereka
bertemu kembali kapanpun itu. Ternyata dugaan awal ku salah, inilah alasan
sesunngguhnya perasaan tidak enak di awal.
Aku mundur perlahan
seiring dengan pelukan mereka yang dilepaskan perlahan. Aku tahu mereka tidak
ingin melepaskannya. Aku tahu mereka tidak ingin diganggu. Aku berbalik, terus
menulusuri jalan, entah tujuan. Rasanya mata ini serasa ditonjok-tonjok oleh
air mataku sendiri, karena mereka sudah tidak betah di sana, mereka sudah ingin
keluar menulusuri pipiku. Bisa kurasakan itu. Hanya itu yang kurasakan. Sampai
saat ponsel berdering dengan nada khusus nomor Farid, tepat di satu anak tangga
gedung apartemenku.
“De? Dimana?”
Aku terdiam.
“Halo… de? Halo…”
Isakan tangisku semakin
keras.
“De? Kamu? Dimana?
Kenapa? Ada apa?”
Itulah
suara Farid yang aku dengar terakhir. Dan fikiranku yang terakhir adalah apakah
aku harus menunggu Farid mengakhiri perjalanan cintanya dengan Aurelia? Atau
memang haruskah aku merelakannya? Sampai semuanya terasa gelap.
Lalu … Devara Scmidt jatuh pingsan.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar